Turning Point

I posted my last journal on 2016, almost 4 years ago. Padahal waktu itu bener2 janji bakalan kembali lagi dengan tulisan2 yang udah lama binggo pengen aku ceritain tentang apapun itu experience ku hahaha
Tapi ya akhirnya ketimbun dengan kemageran untuk rebahan aja. Omaygad, it was really.. really.. really full of wasting time. Too much overthinking yang sangat tidak penting. 

So, if you ask me, How are you ?
Yeah, I feel fine right now. Tentunya dengan berbagai macam kegalauan, dan kebimbangan, dan kegupuhan yang sudah menjadi ciri khasku. Like my last post, finally I graduate on March 2016. Layaknya fresh graduate yang enggak tau apa2, berpetualang lah aku dengan kawan2 dari satu job fair ke job fair lainnya, ke satu tes ke tes lainnya, ke satu interview ke interview lainnya, termasuk dari satu harapan yang kandas ke harapan yang kandas lainnya. It was running around 9 months, untill I saw one of hiring advertisement from a legend bookstore in Indonesia. Kalian pasti tau lah ya. Harus kusebut kah brand nya ? hahahahahaha

Yes, i'm a part of it now. Sudah berjalan 3 tahun 7 bulan. Awalnya punya niatan gede bgt untuk cicipin experience disini enggak lama2. Tapi ternyata yang Empunya dunia ini pengen aku me-repair segala bentuk kekuranganku dalam bersosialisasi. Memang bener2 ada maksudnya aku ditenggelemin disini selama ini hahaha .. klo kata bos-bos sih, Blessing in Disguise (ceilaahhhh)

And voila!
Aku pikir aku sudah berubah cukup banyak, meskipun sensitifitas dan kebaperanku masih ada. Tapi seenggaknya sudah jauh berkurang. Mama bilang skrng aku lebih percaya diri, lebih bisa pertahanin pendapat, nggak begitu nangisan (yeaaah, frekuensi nangisku dah berkurang drastis emang. Tpi teteepp, masih ada), tingkat kepanikan sudah jauh berkurang, beralih ke kecepatan dalam mencari alternatif solusi)
Emang selama 3taun ngapain aja sih kok bisa progress begitu ?

Okay, let me explain...
I worked in a retail industry, which is they have a slogan, RETAIL IS DETAIL, tempat kerja padat karya, serba multitasking, dan shifting. Aku, yang awalnya seorang yang idealis, serba ingin rapi, serba ingin sesuatu berjalan sesuai pada tempatnya, hidup dalam lingkungan ideal selama 23 tahun, dan selama itu pula hanya melihat lingkungan yang setara / lebih tinggi dari aku, suddenly have a terrible cultural shock. Aku, yang terbiasa juga berkomunikasi dengan orang-orang yang se frekuensi, se "bahasa" , se-pemahaman, se-pengetahuan, diharuskan untuk berkomunikasi dengan team yang, unfortunately, tidak mempunyai kesempatan untuk bisa meraih hal-hal yang selama ini aku capai. I can say, they don't have any privilege that I got. 

I mock to them? NO. Definitely Not.
Justru aku yang belajar banyak hal.
One day, di salah satu hari-hari pertamaku, one of a morning shift task is : buka brankas duit untuk kasir. Aku yang gak pernah berinteraksi sama sekali dengan brankas ya kagak ngarti ape2. Diajarin udah pasti, tapi diriku gaada "api" nya. Saking gaada apinya ya, buka pintu brankas tuh gabisa. Sampe disentak sama kasir. "GINI LHO MBAK CARANYA BUKA BRANKAS, TINGGAL TARIK DOANG" (ngomongnya kayak Nia Ramadhani pas ledekin Revalina S. Temat di Sinetron Bawang Merah Bawang Putih)
Iya, tinggal tarik doang. Tapi nariknya butuh "api" dalam dirimu. Sekali tarikan kalo ada "api" nya ya kebuka. And i haven't it at that time. Aku gak punya kekuatan itu. Aku takut menantang diriku sendiri. Kejebak banget di zona nyaman. 

Atau pada kesempatan lain, aku yang 23 tahun selalu mengusahakan untuk menyelesaikan masalah lewat jalur "ngomong baik-baik", sekali lagi masih shock dengan cara bar-bar temen disini untuk lebih milih langsung berantem aja. Dan masih banyak ribuan kejadian yang bikin aku nangis bedarah darah meratapi rantauan yg cuma sejengkalan ini, seakan akan aku ngerantau ke Korea Utara.

Dalam jangka waktu hampir setahun, aku masih terus-terusan menyalahkan keadaan. Aku masih terus merasa aku yang benar seutuhnya. Aku masih angkuh dengan merasa bahwa apa yang aku tau dan aku kuasai adalah hal paling baik yang harus dilakukan. Diluar itu, semua salah. Kalo dipikir-pikir, seriusan aku sombong banget dengan ngerasa kalo aku tidak pada tempatku yang sebenarnya. Jatuhnya jadi semacam meremehkan. Lalu hal ini lah yang menjadi bibit awal mengapa aku harus belajar banyak disini hingga sekian lama. 

Turning point perjalanan pendewasaanku ada dalam 2 kejadian. Aku akuin semuanya ada di lingkungan kerja. Yang pertama, suatu petang, sekitar jam 18.30, waktu itu lagi dapat shift siang dengan 1 partnerku. Kami berbincang beberapa hal. Tukar pikiran dan sharing pengalaman. Kebetulan senior ku berasal dari Malang juga. Dia cukup menjadi role model ku karena beliau mengawali karirnya mulai dari bawah. Saat masih menjadi pramuniaga prestasi nya cukup gemilang sehingga dapat promosi jabatan. Pengalamannya banyak dan aku senang mendengar banyak hal dari beliau. Kami jg jadi merasa senasib se-daerah asal karena sama2 menghabiskan masa bertumbuh di Kota Malang. Sering juga sedikit nostalgia2 kampung halaman yang bikin selalu pengen pulang ke rumah (fyi, masa awal kerja aku jarang bgt pulkam karena belum dapat cuti dan kalo libur cuma sehari pasti tenaga udah kekuras capeknya kerja sehari-hari. Belum adaptasi dengan fast pace nya retail sih, jadi keteteran bgt).
Oiya, hari-hari sebelumnya aku emang lagi dalam keadaan mood yang enggak bagus intinya. Aku marah dengan banyak hal, tersinggung dengan banyak orang, cultural shock bulan-bulan sebelumnya juga belum sembuh sepenuhnya, akibatnya kinerjaku enggak begitu bagus aku akui. Pada minggu itu aku sebenarnya punya deadline untuk mengerjalan laporan akhir dari event yang dimana aku menjadi PIC nya. Aku masih agak kurang paham dengan alur cara kerja administrasi pada saat itu. Ditambah dengan keadaan psikis yang belum begitu stabil, aku jadi super malas buat ngerjainnya. 
Sore itu laporan yang harus aku selesaikan seharusnya sudah aku serahkan Bu Bos untuk di acc. Tapi aku masih menunda-nunda karena banyak hal tadi. Ditengah pembicaraanku dengan partnerku, Bu Bos tiba2 muncul dan menanyakan laporan tsb. Aku sudah menjawabnya sebijak mungkin, yang intinya masih proses. Tentunya dengan sedikit alasan2 yang bisa menguatkan mengapa laporan belum selesai juga. Jawaban dari Bu Bos gak pernah akan aku lupa seumur hidupku, "Masa nyelesein laporan kayak gtu aja gak selesai2 ? Sudah 2 minggu lebih lho Mbak! Trus apa gunanya Mbak kuliah di U* ?"
Dan masih banyak omelan2 lain yang menyinggung soal harapan Bu Bos ke aku tapi ternyata harapan itu nggak kewujud, dll.

I'm so doomed after that. Aku yang apa-apa mikir ini udah pasti nangis bombay setelah menelan bombardiran protes dari Bu Bos, yang mana dalam zona nyamanku, belum pernah sekalipun aku dapat kiriman kata-kata frontal di depan muka ku langsung. Ada rasa sedih, ada marah karena tersinggung, ada marah ke diri sendiri karena gk selesaikan tugas sampai finish, tapi yang paling besar adalah rasa gagal mewujudkan kepercayaan seseorang yang sudah diamanahkan ke aku. 1 minggu aku banyak mikir, evaluasi ke diriku sendiri, tanya sama aku sendiri, kira-kira apa yang salah ? Apa yang harus aku lakukan untuk mengatasi ini ? Pada akhir masa pikirku itu aku menyadari, aku gabisa terus2 an menyalahkan orang lain. Aku harus bisa ambil sebuah solusi dan bangun dari kenyamanan yang sudah tercipta lebih dari 2 dekade. Bukan hal yang mudah, tapi mulai saat itu aku mulai merasa harus bangun dan menyudahi tetek bengek ke-letoy-an ku selama ini.

1 minggu setelah kejadian itu, aku bertemu dengan Bu Bos. Tujuanku, aku pengen sedikit meluruskan beberapa kesalahpahaman yang terjadi. Pada saat itu untuk pertama kalinya aku menceritakan secara gamblang bagaimana kondisiku, bagaimana latar belakang keluargaku, apa yang aku hadapi selama bekerja, kesulitan-kesulitan apa yang aku rasakan, cultural lag yang kuhadapi juga aku ceritakan. And surprisingly, Bu Bos sangat welcome dengan apa yang aku sampaikan. Beliau malah memberikan banyak advice dan inspirasi untuk aku membangun pribadi dan memperbaiki diri. Satu hal yang cukup merubah aku adalah advice mengenai bagaimana mengelola emosi. Beliau bercerita, "Saya kalau marah itu sekali keluar Mbak. Saya tidak menyerang personal. Saya hanya mengkritisi bagaiamana cara kerjanya. Jadi semisal saya marah, ya sudah. Selesai. Kecuali emang gak tau diri aja ya dianya, kesalahan diulang-ulang." That-Saya tidak menyerang personal. Saya hanya mengkritisi bagaimana cara kerjanya-sentence, really-really help me. Setelah pembicaraan itu, Bu Bos sudah gak pernah marah ke saya sampai sekarang, 3 tahun setelah kejadian itu. 

Kejadian kedua yang menjadi turning point saya adalah suatu sore dimana saya sedang dapat shift siang sendirian, nggak ada partner. Kalau tidak salah partner saya ambil libur mendadak karena anaknya sakit. Yasudah sih, saya juga masih bisa handle kerjaan. Saat itu paruh kontrak kedua. Saya sudah lolos kontrak 1, oleh Bu Bos dilanjutkan ke kontrak 2. Agak takjub sebenernya. Tapi alhamdulillah berarti saya dipercaya.
Kemudian saat habis makan malam, saya dapat telf dari ext kasir. Ternyata Anne, salah satu kasir judes saya. Ya meskipun judes tapi dia cukup sering ngobrol dengan saya. Saat itu dia bertanya, "Mbak, boleh ke admin sebentar nggak ? Saya mau cerita." Sebenernya itu bukan pertama kali temen2 frontliner menghubungi saya yang tujuannya pengen cerita. Tapi nggak tau kenapa pas itu perasaan saya agak beda saat terima telp dari Anne. Kemudian setelah saya ijinkan, sekitar 5 menit kemudian Anne masuk ke ruangan saya. Dia duduk di meja dan langsung menangis keras. Saya kaget pastinya. Anne yang biasanya terlihat fierce, kuat, kali ini dia menangis seperti hopeless dengan muka pucat. Aku biarkan dia menangis sampai puas dahulu. Sampai kira-kira ada 10 menit menangis, akhirnya dia meminum segelas air yang aku suguhkan. Dia berkata, "Maaf mbak, aku udah gatau harus nangis ke siapa dan ke mana lagi. Aku udah gaada harapan." Benar batinku. Dia hopeless. 
Singkat cerita setelah itu dia bercerita mengenai kondisinya. 

Anne adalah anak ke-2 dari 3 bersaudara. Orang tuanya bercerai saat umurnya 5 tahun. Setelah perceraian orang tuanya, Anne dan 2 saudaranya hidup dengan kakek neneknya. Ayah dan Ibu nya tidak lama setelah itu sudah menikah lagi dan hidup dengan keluarga barunya masing-masing, tanpa Anne dan 2 saudaranya. Tidak ada kesempatan buat Anne untuk merasakan sebuah perasaan mengganjal dalam dirinya. Tidak ada juga kesempatan buat Anne untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar mengapa Ayah Ibunya tidak mengajaknya pergi. Keadaan sudah cukup memaksa Anne untuk melupakan itu semua dan sibuk dengan Kakek Nenek serta 2 saudaranya. 
Anne tumbuh di lingkungan Kota Besar yang hiruk pikuk. Dibiasakan melihat banyak ketidakidealan kehidupan keluarga di gang-gang sempit di area Jl. Jarak Surabaya yang tersohor itu, Anne tumbuh sebagai remaja yang pendiam. Sampai suatu hari ketakutan terbesarnya terjadi. Kakek dan Neneknya, orang yang dipercayainya, meninggal dunia. Anne tidak tau lagi akan hidup bagaimana dan dimana karena saat itu Ia masih kelas 6 SD, kakaknya SMP, dan adik nya kelas 3 SD. Pasrah hanya jalan yang dapat dilihatnya saat itu. 

Keputusan keluarga akhirnya mengantar Anne pada perpisahan dengan 2 saudaranya. Setelah dilakukan diskusi keluarga, diambil keputusan untuk menitipkan Anne di 3 keluarga Paman dan Bibinya. Bisa ditebak, kehidupan Anne setelah itu bisa dibilang tidak indah. Beberapa tahun Ia hidup dalam masa yang sangat tidak nyaman. Diperlakukan tidak menyenangkan oleh keluarga sendiri. Hingga saat lulus SMA Ia memutuskan untuk keluar dari rumah Bibinya lalu memilih bekerja dan sewa kamar kos sendiri. Selama dititipkan di rumah Paman dan Bibinya, Anne tidak pernah lagi bertemu dengan saudara kandungnya. Ia seakan sengaja dipisahkan dengan keluarga kandungnya. 

Cerita Anne berhenti disitu. Saat itu Ia lagi sedang dalam keadaan tak baik di pekerjaan lalu teringat dengan kisah hidupnya. Aku, sebagai pendengar, jelas nggak tau harus bicara apa atau bagaimana menanggapi kisahnya. Satu yang terpikirkan pertama kali, ini cerita bener-bener macam sinetron di RCTI. Aku sempat meragukan kebenaran cerita ini, tapi salah satu rekan kerjaku membenarkan cerita itu karena Ia tinggal di dekat tempat tinggal Anne saat masih bersama Kakek Neneknya. 

Pulang kerja, cerita Anne tadi masih nyangkut di telingaku. Aku masih takjub ternyata bukan kejadian dunia nyata yang terinspirasi sinetron, tapi benar-benar sinetron itu terinspirasi dari kisah nyata. Dulu aku selalu anggap lebay kejadian-kejadian di sinetron. Ternyata benar ada kejadian-kejadian tersebut. Aku rasanya pengen merutuki diriku sendiri mengapa bisa jadi se-bodoh ini mengira dunia baik. Nggak, dunia itu jahat. Aku terlalu polos. Cerita Anne tadi memutar mindset ku selama ini. 

Dua kejadian tadi menjadi awal proses perubahan mindset ku. Sebenarnya masih ada banyak kejadian-kejadian lain yang memaksa aku lompat jauh dari zona nyamanku. Kalo aku ceritain satu-satu gak kelar sampe tahun depan kayaknya hahaha
Intinya, bener-bener lompatlah dari zona nyaman biar makin tangguh menghadapi dunia yang kejam. Kalo boleh dibilang, zona nyaman ini semu. Memberikan sebuah rasa aman dan nyaman tapi tidak menjanjikan hidup yang tangguh. Kecuali kamu hidup macam Rafathar yang punya jutaan privilege sejak masih orok. Bahkan untuk kalian yang punya privilege level 1 ya, aku pikir kalian juga harus tangguh hadepin dunia. Karena yaaa, Indonesia belum se-sejahtera itu, kebanyakan netizen lingkungan kita masih punya pola pikir baheula such as PNS is everything, punya rumah dan mobil tandanya berhasil sedangkan kalo belum punya brati elu masih kere, menikah tua adalah aib, atau nunda punya anak adalah cerminan menolak rejeki. Ya, karena hal-hal itu, wahai kalian-kalian generasi 90-an maupun gen-Z, yuk lompat dari zona nyamanmu sekarang. Aku share apa yang pernah aku alami, paling nggak bisa lah ya untuk temen-temen mikir kalo masa sekarang, apalagi this fcking 2020 have a high difficulty of life. Aku yang sekarang sangat bersyukur pernah dipaksa Allah untuk melewati tantangan besar ini. 
Thanks for everything God. You're really the best creator for us...

-PS. 
I still developed myself to be more and more than this. 

Bye guys, see you soon....


Komentar

Postingan populer dari blog ini

How I start it ?

Perjalanan Pulang - (Embun's Journey Pt. 1)